Sejarah Tayub
Mungkin kita akan mempunyai pandangan lain jika memahami sejarah, awal mula dan maksud diadakannya seni Tayub ini. Konon Tayub merupakan ritual untuk sesembahan demi kesuburan pertanian. Penyajian Tayub diyakini memiliki kekuatan magis dan berpengaruh terhadap upacara sesembahan itu. Melalui upacara “bersih desa”, aparat desa mengajak warganya untuk melakukan tarian di sawah-sawah dengan harapan keberkatan itu muncul melalui prosesi yang mereka lakukan. Tanaman menjadi subur dan terhindar dari hama dan mara bahaya. Tayub, dengan demikian menjadi pusat kekuatan penduduk desa seperti halnya slametan, atau bahkan sembahyang tahajut bagi kaum santri. Sembahyang tayuban dipandang memiliki kekuatan gaib yang sangat berarti bagi warga desa, sehingga mereka tidak canggung-canggung melakukan tarian dalam suasana apapun. Bahkan konon, semakin erotis tarian yang disajikan semakin menjanjikan keberkahan dan kesuburan hasil tanam.
Biasanya, tarian itu disuguhkan oleh laki-laki dan perempuan yang menari secara bersamaan. Laki-laki disimbolkan sebagai benih tanaman yang siap tumbuh dan berkembang, sedangkan perempuan dilambangkan sebagai lahan yang siap ditanami. Seiring dengan keyakinan masyarakat akan daya magis tarian Tayub, penyajiannya kemudian beralih bukan lagi di sawah-sawah, tetapi merambah dunia resepsi khitanan atau perkawinan. Kekuatan ghaib yang ada pada tayub itu dianggap turut berpengaruh terhadap kesuburan pasangan, sehingga berkah itu diharapkan segera mewujud dalam bentuk kelahiran anak. Laki-laki dan perempuan yang melakukan praktik tari kesuburan itu tentu saja tidak menganggapnya sebagai ajang jual beli seks, tetapi sebagai unsur sah sebuah ritus.
Lebih jauh lagi, kini tayub tidak lagi disajikan dalam upacara-upacara tasyakuran, slametan atau hajatan keluarga saja. Tetapi telah berubah menjadi seni hiburan rakyat yang dikomersialkan. Perkembangan sosial telah mengantarkan seni hiburan rakyat ini menjadi pertunjukan seni yang bisa menjadi ladang pencaharian bagi waraggana dan pendukung seni tayub lainnya. Tradisi saweran dalam Tayub telah menggeser makna dirinya, dari yang bersifat sakral (ritual sesembahan ‘keagamaan’) menjadi sangat profan (materialis). Masyarakat yang semula mempergunakan tayub untuk upacara tasyakuran dan menambah kerukunan, kini menjadi ladang hiburan dan bisnis.
Jadi seperti halnya seni-seni tradisi yang lain, perjalanan Tayub pun mengalami pasang surut. Ia pernah dipanjer oleh para pejabat kolonial Belanda untuk memeriahkan pesta di pendopo kabupaten dan sering pula dipentaskan di alun-alun oleh para Wedono dan kaum priyayi untuk menghibur rakyat. Pada dekade 50-an hingga 60-an, tayub diperebutkan oleh beberapa partai politik untuk dijadikan alat propaganda dan kampanye. Belakangan, karena lebih akrab dengan akar rumput, sebagian besar Tayub direngkuh oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Lekra-nya. Karena ikut atau tersangkut PKI inilah kaum santri lebih bersemangat untuk menuntut pembasmian Tayub. Maka di awal rezim Orde Baru, Tayub menghilang dari peredaran. Pada akhir 70-an, setelah ada regulasi kebudayaan, Tayub kembali boleh digelar dan disahkan kembali sebagai seni pertunjukan. Bahkan bersama dengan sejumlah seni tradisi lainnya, Tayub dipertimbangkan sebagai kekayaan budaya yang perlu dilestarikan.
Tayub Tulungagung
Paguyuban Tayub
Tidak ada komentar:
Posting Komentar